Minggu, 13 Juni 2010

pemimpinideal

Kriteria Pemimpin Ideal

Islam adalah agama yang sempurna, di antara kesempurnaan Islam ialah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah SWT maupun hubungan dengan manusia, termasuk di antaranya masalah kepemimpinan di pemerintahan.

Kepemimpinan di satu sisi dapat bermakna kekuasaan, tetapi di sisi lain juga bisa bermakna tanggungjawab. Ketika kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan, Allah SWT mengingatkan kita bahwa hakikat kekuasaan itu adalah milik Allah SWT. Allah SWT yang memberi kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah pula yang mencabut kekuasaan dari siapa pun yang dikehendaki-Nya: Firman Allah dalam Surat Al-Imran ayat 26.
Yang Artinya: ya Allah yang mempunyai kerajaan, engkau berikan kerajaan kepada siapa yang engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari siapa yang engkau kehendaki dan engkau muliakan siapa yang engkau kehendaki dan engkau hinakan siapa yang engkau kehendaki . ditangan engkaulah segala kebajikan sesugguhnya engkau maha kuasa atas tiap-tiap sesuatu. (Ali Imran ayat 26)
Adanya kesadaran seorang mu’min terhadap hal ini memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadiannya, ketika ia memegang kekuasaan, ia akan tetap bersikap rendah hati, tidak ada keangkuhan dalam dirinya sedikit pun, tidak akan menyelewengkan kekuasaannya dalam bentuk apa pun, dan ia gunakan kekuasaannya itu sebagai alat untuk menghambakan dirinya dan alat untuk mencapai ridha Allah SWT. Sehingga ia akan betul-betul melaksanakan amanah dan tanggung jawab jabatannya seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat, bukannya untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya pribadi maupun golongan-golongan tertentu saja.

Karena, dalam kehidupan bermasyarakat, diperlukan adanya pemimpin yang mengatur, membawahi, dan mengarahkan kehidupan masyarakat itu.
Pemimpin harus menjadi abdi masyarakat. Dia harus melayani dan menjadi fasilitator bagi keperluan-keperluan rakyat.

Dalam Islam, hampir semua ulama menyepakati bahwa pemimpin adalah abdi masyarakat. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya adalah suatu amanah (titipan) yang setiap saat harus dipertanggungjawabkan dan diambil wewenangnya. Amanah itu diperoleh dari Allah SWT lewat pemilihan yang dilakukan oleh manusia, kecuali para Nabi dan Rasul yang langsung dipilih oleh Allah. Oleh karena itu, dalam melaksanakan amanah, manusia diharapkan senantiasa berbuat baik dan bertanggung jawab. Jika manusia bisa menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah, maka mereka tidak akan berebut kekuasaan dengan temannya sendiri, atau memaksakan diri untuk menjadi pemimpin demi keuntungan materi semata.

Pemimpin Ideal Menurut Ajaran Islam
Kepemimpinan dalam islam merupakan sebuah amanah yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar ahli berkualitas dan memiliki 2 tanggungjawab yang jelas dan benar serta adil, jujur dan bermoral baik. Inilah beberapa kriteria yang Islam tawarkan dalam memilih seorang pemimpin yang sejatinya dapat membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera dan tentram.

Tidak salah lagi, pemimpin ideal yang pernah ada di atas permukaan bumi adalah: Rasulullah saw. Dialah pemimpin abadi bagi umatnya dan umat manusia umumnya. Tidak ada nama pemimpin besar yang namanya disebut hingga kini sebanyak nama Muhammad SAW, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab Ayat 21:
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. “(QS. Al-Ahzab: 21)

Dalam adzan nama beliau disebut, dalam bacaan shalat pun disebut. Demikian juga dalam segala kesempatan acara tertentu, ia disebut namanya. Apalagi dalam buku-buku sejarah, nama beliau tertulis dengan tinta emas dengan keharuman semerbak bagi yang membacanya. Beliaulah Muhammad saw pemimpin abadi karena memiimpin umat dengan hati dan sepenuh hati.

Selain Rasulullh SAW sosok seorang Abu bakar Assiddiq ra ketika beliau dilantik menjadi pemimpin umat sepeninggalnya Rasulullah SAW, yang mana inti dari isi pidato tersebut dapat dijadikan pedoman dalam memilih profil seorang pemimpin yang baik. Isi pidato tersebut diterjemahkan kurang lebih sebagai berikut:
“Saudara-saudara, Aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik diantara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. ‘Orang lemah’ diantara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. ‘Orang kuat’ diantara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah diantara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Swt. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan Sholat semoga Allah Swt melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua”.
Kriteria Pemimpin Ideal Berdasarkan Fiqih Islam
Ada empat kriteria sehingga beliau menjadi pemimpin ideal hingga saat ini:
Shiddiq, artinya benar.
Kata dan ucapan yang keluar dari mulut beliau selalu benar dan tak ada kata dusta. Beliau disegani oleh sahabat, umat, kawan, bahkan lawan karena ucapannya sesuai dengan laku perbuatannya. Apa yang diinformasikannya tidak ada sedikitpun kandungan dusta. Beliau tidak pernah memerintah suatu perintah kecuai beliau memulai sendiri melaksanakan perintah itu. Dan tidak pernah melarang akan sesuatu kecuali beliau memulainya pada dirinya sendiri untuk menjauh dari larangan tersebut. Inilah rahasia mengapa kata-kata beliau menjadi “bermutu” di dengar oleh siapapun. Itulah yang menyebabkan keluar kata “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami taat) dari mulut sahabat bila beliau memeintah atau melarang mereka. Tidak ada reserve, tidak ada protes apalagi demontrasi atas ketidakpercayaan kepemimpinan beliau. Beliau saw pernah bersabda, “Andaikata Fatimah puteri Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Kebenaran kata dan perbuatan inilah yang menyebabkan supremasi hukum berjalan, sehingga hukum berwibawa di hadapan rakyatnya. Hukum tidak hanya berlaku bagi rakyat jelata, namun juga ditegakkan kepada para elite dan pemimpinnya.
Amanah. Artinya adalah jujur.
Sejak sebelum menjadi rasul-pun, Muhammad saw remaja telah mendapat gelar al-Amin (yang dipercaya). Sifat amanah telah menjadi darah daging beliau dalam kehidupan sehari—hari, tidak pura-pura dan tidak dibuat-buat. Rasa amanah inilah yang menyebabkan tercipta kemakmuran di kota Madinah. Tidak jarang Rasulullah melakukan operasi pasar untuk melihat tingkat kejujuran para pelaku ekonomi. Suatu saat Rasulullah mencelupkan tangan di atas onggokan gandum dan ditemuinya gandum yang bagian bawahnya basah, sementaa si penjual gandum menghargainya dengan harga gandum kering yang bagus. Maka Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang menipu kami maka bukan termasuk golongan kami”.
Kejujuran Rasulullah saw tidak hanya ditunjukkan kepada sesama kaum muslimin saja, bahkan beliaupun tetap berbuat jujur kepada kaum kafir. Pada saat beliau akan berhijrah ke Madinah, beliau kembalikan dahulu semua amanah dan titipan orang-orang Quraisy kepada pemiliknya masing-masing, padahal para pemilik barang yang dititipkan kepada Rasulullah saw adalah dari golongan non muslim. Padahal jika mau, bisa saja beliau membawa kabur barang-barang itu ke Madinah, apalagi pada saat itu beliau perlu bekal yang tidak sedikit. Akan tetapi beliau tetap mengembalikan semua titipan itu kepada sang pemiliknya.
Tabligh, artinya menyampaikan.
Dalam bahasa modernnya adalah transparan (keterbukaan, menyampaikan apa adanya), akuntabel dan bertanggungjawab. Tidak ada satu ayat pun yang beliau korupsi atau sembunyikan. Semuanya disampaikan apa adanya oleh beliau kepada para sahabat. Meskipun ayat tersebut berisi oto-kritik kepada beliau, namun beliau tetap menyampaikan kepada umatnya dengan terbuka, transparan dan semangat tabligh (menyampaikan). Adalah surat “Abasa” berisi kritik keras kepada Rasulullah akan sikapnya saat menerima orang buta miskin yang ingin bergabung dengan Rasulullah. Namun, mesti isinya menyinggung dan mengkritik diri beliau, beliau tetap menyampaikan isi surat ‘abasa itu kepada umatnya. Sikap transparan akuntable dan responsblity inilah yang membuat beliau sukses dalam kepemimpinannya. Hingga hari-hari menjelang wafat beliau pun, beliau masih menanyakan kepada para sahabatnya, “Adakah diantara kalian yang pernah aku zhalimi?” Bahkan dalam khutbah Wada’ di padang Arafah yang terkenal itu bertanya meyakinkan para sahabatnya, “Hal Ballaghtu?” (Sudahkah semua telah aku sampaikan?). Para sahabat menjawab. “Balaa ya Rasulullah” (benar, engkau telah menyampaikan, wahai Rasulullah).
Fathonah, artinya cerdas, smart dan inovatif.
Rasulullah saw adalah pemimpin yang cerdas dan inovatif. Banyak strategi dakwah dan perang yang tidak terjangkau oleh pasukan musuh. Demikian juga dalam mendamaikan antar anggota warga Madinah. Penduduk Madinah sebelum datangnya Islam seringkali bertikai, bahkan ratusan tahun mereka dalam pertikaian. Namun setelah memeluk Islam, mereka menjadi bersaudara melebihi cinta mereka kepada saudara kandung mereka sendiri.
Kita merindukan sang pemimpin bagai kepemimpinan Rasulullah saw. Meski tidak mirip benar, setidaknya sifat-sifat itu harus menjadi ciri para pemimpin ke depan, meki tidak sampai 100%. Namun, faktor lain yang membuat suatu kepemimpinan itu berwibawa adalah para pembantunya yang juga memiliki keempat sifat di atas. Jika seorang pemimpin berada di lingkungan para pembantu dan pendukunnya yang shiddiq, Amanah, tabligh dan fathonah maka suasana kepemimpinan seperti itu bukan hanya dirasakan di level tertentu, namun juga di semua level hingga ke pelosok terdalam sekalipun. Wallahu a’lam.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam al-Qur`an untuk menjelaskan tentang pemimpin adalah khalifah, ulu al-amr, imam dan malik. Adapun penafsiran para ulama atas ayat-ayat kepemimpinan itu terkait dengan latarbelakang mufasir, metode dan corak yang digunakan. Walaupun pada akhirnya menghasilkan penafsiran tentang kepemimpinan yang hampir sama yang pada intinya berpendapat bahwa seorang pemimpin itu harus menyeru kebajikan, menegakkan keadilan dan menolak kedzaliman.
Rasululloh merupakan sosok teladan seorang pemimpin yang pada dirinya terdapat 4 kriteria pemimpin yang harus dimiliki oleh manusia sebagai khalifah di bumi ini yakni;

  • Shiddiq, artinya benar.
  • Amanah, artinya dapat dipercaya
  • Tabligh, artinya menyampaikan.
  • Fathonah, artinya cerdas, smart dan inovatif.

kriteria pemimpin ideal

“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. “(QS. Al-Ahzab: 21)

Tidak syak lagi, pemimpin ideal yang pernah ada di atas permukaan bumi adalah: Rasulullah saw. Dialah pemimpin abadi bagi umatnya dan umat manusia umumnya. Tidak ada nama pemimpin besar yang namanya disebut hingga kini sebanyak nama Muhammad saw. Dalam adzan nama beliau disebut, dalam bacaan shalat pun disebut. Demikian juga dalam segala kesempatan acara tertentu, ia disebut namanya. Apalagi dalam buku-buku sejarah, nama beliau tertulis dengan tinta emas dengan keharuman semerbak bagi yang membacanya. Beliaulah Muhammad saw pemimpin abadi karena memiimpin umat dengan hati dan sepenuh hati.
Ada empat kriteria sehingga beliau menjadi pemimpin ideal hingga saat ini:
Shiddiq, artinya benar. Kata dan ucapan yang keluar dari mulut beliau selalu benar dan tak ada kata dusta. Beliau disegani oleh sahabat, umat, kawan, bahkan lawan karena ucapannya sesuai dengan laku perbuatannya. Apa yang diinformasikannya tidak ada sedikitpun kandungan dusta. Beliau tidak pernah memerintah suatu perintah kecuai beliau memulai sendiri melaksanakan perintah itu. Dan tidak pernah melarang akan sesuatu kecuali beliau memulainya pada dirinya sendiri untuk menjauh dari larangan tersebut. Inilah rahasia mengapa kata-kata beliau menjadi “bermutu” di dengar oleh siapapun. Itulah yang menyebabkan keluar kata “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami taat) dari mulut sahabat bila beliau memeintah atau melarang mereka. Tidak ada reserve, tidak ada protes apalagi demontrasi atas ketidakpercayaan kepemimpinan beliau. Beliau saw pernah bersabda, “Andaikata Fatimah puteri Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Kebenaran kata dan perbuatan inilah yang menyebabkan supremasi hukum berjalan, sehingga hukum berwibawa di hadapan rakyatnya. Hukum tidak hanya berlaku bagi rakyat jelata, namun juga ditegakkan kepada para elite dan pemimpinnya.
Amanah. Artinya adalah jujur. Sejak sebelum menjadi rasul-pun, Muhammad saw remaja telah mendapat gelar al-Amin (yang dipercaya). Sifat amanah telah menjadi darah daging beliau dalam kehidupan sehari—hari, tidak pura-pura dan tidak dibuat-buat. Rasa amanah inilah yang menyebabkan tercipta kemakmuran di kota Madinah. Tidak jarang Rasulullah melakukan operasi pasar untuk melihat tingkat kejujuran para pelaku ekonomi. Suatu saat Rasulullah mencelupkan tangan di atas onggokan gandum dan ditemuinya gandum yang bagian bawahnya basah, sementaa si penjual gandum menghargainya dengan harga gandum kering yang bagus. Maka Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang menipu kami maka bukan termasuk golongan kami”.
Kejujuran Rasulullah saw tidak hanya ditunjukkan kepada sesama kaum muslimin saja, bahkan beliaupun tetap berbuat jujur kepada kaum kafir. Pada saat beliau akan berhijrah ke Madinah, beliau kembalikan dahulu semua amanah dan titipan orang-orang Quraisy kepada pemiliknya masing-masing, padahal para pemilik barang yang dititipkan kepada Rasulullah saw adalah dari golongan non muslim. Padahal jika mau, bisa saja beliau membawa kabur barang-barang itu ke Madinah, apalagi pada saat itu beliau perlu bekal yang tidak sedikit. Akan tetapi beliau tetap mengembalikan semua titipan itu kepada sang pemiliknya.
Tabligh, artinya menyampaikan. Atau dalam bahasa modernnya adalah transparan (keterbukaan, menyampaikan apa adanya), akuntabel dan bertanggungjawab. Tidak ada satu ayat pun yang beliau korupsi atau sembunyikan. Semuanya disampaikan apa adanya oleh beliau kepada para sahabat. Meskipun ayat tersebut berisi oto-kritik kepada beliau, namun beliau tetap menyampaikan kepada umatnya dengan terbuka, transparan dan semangat tabligh (menyampaikan). Adalah surat “Abasa” berisi kritik keras kepada Rasulullah akan sikapnya saat menerima orang buta miskin yang ingin bergabung dengan Rasulullah. Namun, mesti isinya menyinggung dan mengkritik diri beliau, beliau tetap menyampaikan isi surat ‘abasa itu kepada umatnya. Sikap transparan akuntable dan responsblity inilah yang membuat beliau sukses dalam kepemimpinannya. Hingga hari-hari menjelang wafat beliau pun, beliau masih menanyakan kepada para sahabatnya, “Adakah diantara kalian yang pernah aku zhalimi?” Bahkan dalam khutbah Wada’ di padang Arafah yang terkenal itu bertanya meyakinkan para sahabatnya, “Hal Ballaghtu?” (Sudahkah semua telah aku sampaikan?). Para sahabat menjawab. “Balaa ya Rasulullah” (benar, engkau telah menyampaikan, wahai Rasulullah).
Fathonah, artinya cerdas, smart dan inovatif. Rasulullah saw adalah pemimpin yang cerdas dan inovatif. Banyak strategi dakwah dan perang yang tidak terjangkau oleh pasukan musuh. Demikian juga dalam mendamaikan antar anggota warga Madinah. Penduduk Madinah sebelum datangnya Islam seringkali bertikai, bahkan ratusan tahun mereka dalam pertikaian. Namun setelah memeluk Islam, mereka menjadi bersaudara melebihi cinta mereka kepada saudara kandung mereka sendiri.
Kita merindukan sang pemimpin bagai kepemimpinan Rasulullah saw. Meski tidak mirip benar, setidaknya sifat-sifat itu harus menjadi ciri para pemimpin ke depan, meki tidak sampai 100%. Namun, faktor lain yang membuat suatu kepemimpinan itu berwibawa adalah para pembantunya yang juga memiliki keempat sifat di atas. Jika seorang pemimpin berada di lingkungan para pembantu dan pendukunnya yang shiddiq, Amanah, tabligh dan fathonah maka suasana kepemimpinan seperti itu bukan hanya dirasakan di level tertentu, namun juga di semua level hingga ke pelosok terdalam sekalipun. Wallahu a’lam. )I(

Dicari pemimpin ideal

Tanggal 11 Mei 2009 pendaftaran pasangan capres-cawapres baru dibuka. Meski belum mendaftar, Partai Golkar dan Hanura telah mantap mengumumkan pasangan JK-Wiranto. SBY menunda pengumumannya pada hari terakhir pendaftaran. Mega dan Prabowo belum jelas….
Beberapa hari menjelang hari pendaftaran dari Masjid Agung Banten saya mengirim sms kepada Ketua DPP-PKS/PPP/PKB/PAN/PBB/PMB/PKNU agar memanfaatkan pecahnya kutub SBY/JK/Mega untuk membentuk koalisi Islam (at tahalluf al Islami) atas dasar aqidah wal ukhuwwah untuk tetapkan CAPRES PRO SYARIAH untuk pilpres mendatang. Saya tekankan dalam sms tersebut agar mereka percaya kepada janji Allah kepada orang-orang mukmin yang mukhlis (QS. An Nuur 55) bahwa Dia SWT akan memberikan kekuasaan kepada mereka untuk mengokohkan dinullah. Saya juga sampaikan bahwa FUI siap bantu sukseskan hal itu…
Namun hingga tulisan ini dibuat tidak satupun partai Islam dan berbasis massa Islam tersebut meresponnya. Ternyata satu persatu mereka sudah merapat ke kubu SBY.

Siapa di antara para capres yang ada itu yang ideal? Apa ukurannya?

Tentu saja sebagai umat Islam, kita harus melihat perkara ini dengan perspektif Islam.

Rasulullah saw. Pernah bersabda kepada Abu Dzar : “Wahai Abu Dzar,. sesungguhnya anda adalah orang yang lemah dan sesungguhnya jabatan itu adalah amanat dan sesungguhnya pada hari kiamat akan menjadi sesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang mengambil jabatan dengan hak dan melaksanakan yang menjadi kewajibannya dalam jabatannya” (HR. Muslim).

Dalam hadits di atas Rasulullah saw. tidak memberikan jabatan kepada Abu Dzar Al Gihfari r.a. dengan menyebut bahwa Abu Dzar adalah orang yang lemah. Oleh karena itu, salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah memiliki kemampuan (qudrah) agar bisa mengemban segala tugas dan kewajiban yang ada dalam amanat jabatan tersebut.

Allah SWT memilih Thalut menjadi Raja Bani Israil dan memberinya kelebihan ilmu dan fisik, bukan kelebihan harta kekayaan. Dia SWT berfirman:

Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah Telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.".. (QS. Al Baqarah 247).

Jelas pemimpin harus memiliki tubuh yang sehat dan kuat, tidak pernah atau jarang sekali sakit. Sebab pemimpin yang sering sakit berarti akan sering udzur dari kewajibannya mengurus urusan rakyat. Padahal pemimpin itu kata Nabi laksana penggembala (ra’in) yang harus memelihara domba-domba gembalaannya (ra’iyyah). Jadi pemimpin itu tugas utamanya adalah memelihara kemaslahatan rakyat.

Ilmu yang luas, khususnya ilmu pengetahuan politik dalam arti pengetahuan tentang bagaimana mengurus kemaslahatan rakyat menurut petunjuk syariat Islam (as siyasah as syar’iyyah), juga menjadi keharusan bagi seorang pemimpin. Dengan wawasan ilmu yang luas pemimpin akan mengetahui jalan-jalan keluar bagi upaya menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam memelihara urusan rakyatnya. Termasuk dalam melindungi negara dan rakyat dari serangan bangsa asing dan kaum kafir imperialis.

Dengan penguasaan ilmu siyasah syar’iyyah yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul seorang pemimpin memiliki kepekaan yang tinggi terhadap nasib umat. Khalifah Umar bin Khaththab adalah contoh figur pemimpin yang kuat dan dicintai Allah. Beliau sangat perhatian kepada nasib rakyat. Tiap malam beliau keliling untuk melihat keadaan rakyatnya. Suatu malam beliau melihat seorang ibu yang menanak batu untuk menghibur anaknya yang kelaparan. Maka beliau segera kembali ke baitul mal untuk mengambil sekarung gandum yang beliau panggul sendiri untuk diberikan kepada ibu itu. Ini menunjukkan perhatian dan kepekaan beliau sangat tinggi. Jangankan kepada manusia, terhadap keselamatan hewan saja beliau perhatian. Pernah suatu hari beliau berkata : ”Kalau sekiranya ada keledai yang tergelincir di Irak, saya khawatir Allah SWT akan menanyaiku di akhirat kelak.”. Jadi presiden yang ideal bagi umat Islam adalah presiden yang memiliki iman yang kuat, yang siap menjalankan syariat Allah SWT dalam kehidupan pribadinya maupun dalam pemerintahannya, yang punya kemampuan fisik dan ilmu syariat yang luas, ketegasan di dalam memutuskan kebijakan berdasarkan halal dan haram yang telah diajarkan oleh baginda Rasulullah saw., serta kepekaan yang tinggi terhadap nasib rakyat. Dengan kriteria-kriteria tersebut, insyaallah umat Islam akan memilih siapa presiden yang ideal buat mereka. Kalau tidak, belajar dari kasus pemilihan DPR dan DPD kemarin, umat ini memilih kepala negaranya dengan kebodohan tentang siapa sesungguhnya mereka. Memprihatinkan! Wallahua’lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar