Senin, 14 Juni 2010

kalam1


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Batasan tentang ilmu kalam meliputi pengertian ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Ilmu kalam sendiri membahas tentang segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai definisinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologis. Sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian teologis dalam agama kristen, misalnya (dalam pengertian teologia dalam agama kristen ilmu fiqh akan termasuk teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang mnghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan ilmu kalam sebagai teologia dialektis atau teologia rasional dan mereka melihatnya sebagai sumber pokok.
Tasawuf sendiri sebagai suatu ilmu yang mempelajari cara dan bagaimana seorang muslim berada dekat, sedekat mungkin dengan Allah. Tasawuf terbagi dua yaitu tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Dari pengelompokkan tersebut tergambar adanya unsur-unsur kefilsafatan dalam ajaran tasawuf, seperti penggunaan logika dalam menjelaskan maqamat (al-fana, al-baqa, ittihad, hulul, wahdat al-wujud).
Setelah pada abad ke-6 hijriah terjadi pencampuran antara filsafat dengan ilmu kalam, sehingga ilmu kalam menelan filssafat secara mentah-mentah dan dituangkan dalam berbagai bukti dengan nama tauhid. Yaitu pembahasan problema ilmu kalam dengan menekankan penggunaan sematic (logika) Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode yang ditempuh para filosof. Kendatipun ilmu kalam tetap menjadikan nash-nash agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam kenyataannya penggunaan dalil diindahkan secara nyata.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan Al-asy’ari tentang ahlusunnah khalaf ?
2. Bagaimana pandangan Al-maturidi tentang ahlusunnah khalaf ?



BAB II
PEMBAHASAN
KALAH ILMU KALAM TENTANG AHLUSSUNAH KHALAF (AL-ASY’ARY DAN AL-MATURIDI)
AHLUSSUNAH KHALAF (AL-ASY’ARY DAN AL-MATURIDI
Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf.
Ahlusunnah (sunni) ada dua pengertian:
1. Secara umum, Sunni adalah lawan kelompok syiah
2. Secara khusus, Sunni adalah mazhab yang berada dalam barisan asy’ariyah dan erupakan lawan mutazilah. Dua aliran yang menentang ajaran-ajaran mutazilah. Harun Nasution dengan meminjam keterangan Tasi Kurbazadah, menjelaskan bahwa aliran ahlu sunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Hasan Al-asy’ari sekitar tahun 300H.
A. AL-ASY’ARI
1. Latar Belakang Kemunculan Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-asy’ari. Ia lahir di Bashrah pada tahun 260H/875M. Ketika berusia 40 tahun, ia hijrah ke kota Bagdad dan wafat di sana pada tahun 324H/935M.
Ayah al-asy’ari adalah seorang yang berfaham ahlusunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-asy’ari masih kecil. Sebelum wafat ia berwasiat kepada sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As- saji agar mendidik Al-asy’ari. Berkat didikan ayah tirinya, Al-asy’ari kemudian menjadi tokoh mutazilah.
Menurut Ibnu asakir, Al-asy’ari meninggalkan faham mutazilah karena ia telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebanyak tiga kali yaitu pada malam ke-10, 20 dan 30 bulan Ramadhan. Dalam mimpinya Rasulullah mengingatkan agar meninggalkan faham mutazilah dan beralih kepada faham yang telah diriwayatkan dari beliau.
2. Doktrin-doktrin Teologi Al-asy’ari
Corak pemikiran yang sintesis ini menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w 854 M).
Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari:
a. Tuhan dan sifat-sifatnya Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimah (antropomorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Kelompok mutazilah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah esensi-esensinya. Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah, sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
b. Kebebasan dalam berkehendak (free will) Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni jabariah dan fatalistic dan penganut faham pradterminisme semata-mata dan mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia)
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang mutazilah mengakui pentingnya akan dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal. Beberapa waktu yang lalu, saya diundang Masjid Paris (Mosquée de Paris) untuk menghadiri seminar tentang Pemikiran Mu'tazilah. Saya tertarik dengan tema ini, sehingga dengan senang hati saya memenuhi undangan itu. Seminar ini diorganisir oleh Institut Al-Ghazali Grande Mosquée de Paris. Awalnya, saya bertanya-tanya mengapa VInstitut ini memilih nama Al-Ghazali, bukan Ibn Sina, Ibn Rusyd, Fakhruddin al-Razi, atau Abu Hasan Al-Asy'ari misalnya.Dan mengapa pula institut ini membahas pemikiran Mu'tazilah yang dalam pandangan Ghazali tua (istilah saya setelahbeliau berhenti jadi seorang filosof di masa mudanya), pemikirannya tidak bermanfaat, dûna al-jadawi, lâ faidata fîha, bahkan oleh para pengikutnya dihukumi sebagai ahlul 'aqli yang dhallu wa yudhillu, sesat lagi menyesatkan. Dua hal inilah yang meringankan langkah saya menuju Masjid de Paris. Saya memang tidak pernah shalat Jum'at atau Tarawih di Masjid ini, sebab saya punya semacam kewajiban moral untuk memakmurkan jamaah di KBRI Paris. Jadi inilah kali pertama saya mengikuti kegiatan ilmiah di Masjid Paris. Sebelum seminar dimulai pukul 14.00, saya sudah tiba di lokasi. Saya menjumpai beberapa orang yang sudah berada di ruang diskusi. Satu laki-laki tua, tiga perempuan muda dan tua berjilbab. Mereka ini tampaknya adalah muslim imigran dari Afrika Utara atau Maghreb. Begitu mendekati pukul dua sore, satu persatu kursi yang tadinya kosong, penuh oleh hadirin. Ada dua profesor Sorbonne dan satu peneliti EHESS yang hadir. Selebihnya, dari sekitar seratusan hadirin, adalah muslim imigran. Peserta laki-laki duduk di depan, perempuan duduk di belakang. Meski beberapa perempuan bule juga duduk di depan bercampur dengan laki-laki. Moderator membuka seminar dalam bahasa Perancis, lalu mengatakan bahwa seminar akan disampaikan dalambahasa Arab. Narasumber sendiri adalah profesor tamu yang jago bahasa Inggris dan Arab. Mengingat mayoritas peserta adalah imigran muslim berbahasa Arab dan kurang paham dengan bahasa Inggris, maka ia memilih bahasa Arab sebagai pengantarnya. Narasumber adalah profesor sejarah pemikiran Islam di Kampus Islam ternama dinegerinya. Akhirnya, presentasi bahasa Arab itu diterjemahkan dalam bahasa Perancis oleh sang moderator. Suasana seminar itu mengingatkan saya sepuluh atau sebelas tahun yang lalu ketika saya harus membuka kitab-kitab klasik dan modern berbahasa Arab di madrasah. Ada perasaan nostalgia. Dalam paparannya yang sangat menarik, narasumber membawa peserta pada abad Hijrah tatkala Washil ibn Atha (w.131 H/ 748 M) memisahkan diri dari jamaah (i'tizal) dan pengajaran Hasan Al-Bashri setelah perbedaan pendapat mengenai status seorang muslim yang menyimpang dari ajaran islam. Washil ibn Atha berpendapat mereka ini tidak bisa disesatkan, dikafirkan. Mereka hanyalah seorang muslim yang fasik (menyimpang jauh dari agama), bukan kafir. Sedang bagi Hasan Bashri dan pengikutnya, mereka ini masuk kategori kafir dan wajib dikucilkan bahkan halal darahnya. Prinsip al-manzilat bayna al-manzilatayn (berada di antara dua kategori), bersama prinsip al-tawhid (keesaan Allah), al-'adl (keadilan Allah), al-wa'du wa al-wa'îd (janji dan ncaman Allah), dan al-amr bi al-ma'rûf wa al-nahy 'an al-munkar adalah doktrin Kelompok Mu'tazilah. Doktrin Mu'tazilah irumuskan secara apik oleh Qadi Abdul Jabbâr dalam kitabnya Al-Mughni, hasil khutbahnya di Masjid Raz, di sekitar eheran Iran sekarang. Yang menarik bagi saya, Mu'tazilah yng dikenal sebagai kubu rasionalis dalam Islam berhasil erumuskan maklumat dalam pengambilan hukum, berkaitan dengan persoalan akal dan wahyu (naql). Mana di antara eduanya yang lebih tinggi. Qadi Abdul Jabbar mengatakan bahwa; jika berkaitan dengan persoalan halal dan haram, aka akal harus tunduk pada naqal, wahyu; jika di luar halal dan haram, akal wajib didahulukan daripada wahyu. Sebab alam kasus ini, teks mempunyai keterbatasan, sedang akal sebagai anugerah Allah dapat menyelesaikan kasus nderawi serumit apapun. Inilah tempat di mana silogisme, penalaran, dan otoritas akal beraksi. Terlepas dari etatisasi aham Mu'tazilah di masa Khalifah Al-Ma'mûn pada zaman Dinasti Abassiyah yang memunculkan kasus mihnah pada hmad ibn Hanbal dalam persoalan status Firman Allah (Kalamullâh), paham rasionalis inilah yang turut mendorong matnya berpikir maju dan menggapai puncak emas peradaban. Tak ada gading yang tak retak. Kelemahan paham ini erletak ketika ia menjadi paham negara, terjadi pemaksaan akidah. Inilah yang justru menyalahi doktrin rasionalis u'tazilah tentang keadilan. Ketika Mu'tazilah yakin bahwa menjadi mukmin atau kafir adalah urusan personal yang kan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, bukan kehendak Allah (takdir) sebagaimana yang dipahami kubu naqli Jabbariyah, Hanbaliyyah, Asy'ariyyah, Maturidiyyah), maka seharusnya ia tidak terjebak pada etatisasi pemahaman. Di ini, Mu'tazilah jatuh pada lubang yang sama sebagaimana kelompok naqli, yakni takfîr, penyesatan dan pengkafiran. erdebatan antara akal dan nakal dalam tradisi Islam berlangsung hingga kini yang mewujud pada perdebatan tentang radisionalisme (al-ashâlah) dan modernitas (al-hadatsah, al-mu'asharah). Perdebatan ini lalu mengerucut pada undamentalisme dan liberalisme dalam Islam. Yang pertama mewarisi tradisi naqal, yang kedua tradisi penalaran. emat saya, perdebatan dan perbedaan dalam Islam adalah hal yang sangat lumrah. Semuanya punya pendapat yang elatif di mata Tuhan, karena sama-sama berpangkal pada interpretasi, pemahaman terhadap agamanya. Keduanya ama-sama ingin menjadi yang "terbaik". Di sinilah, kedewasaan masing-masing kubu diuji. Tradisi carut marut politik ang membawa-bawa suatu paham pemikiran untuk mendukung status quo politik tertentu harus kita hindari, lucuti. ebab, intervensi negara atas pemahaman keagamaan justru berpotensi memecah umat dan memburamkan Islam yang ahmatan lil'alamin. Kedewasaan muslim Indonesia dalam soal perbedaan pendapat (al-ikhtilâf), hemat saya lebih atang dibandingkan dengan generasi masa lalu Islam atau negera-negara muslim lainnya. Jika di negeri-negeri gurun, erbedaan madzhab mendorong pengikutnya untuk baku hantam, baku darah, muslim Indonesia paling tidak hingga kini idak meniru mereka. Tapi bukan berarti, penyakit ashabiyah dan pentakfiran itu tidak menular pada kita. Sebagai ebuah akhlak yang buruk, penyakit itu bisa saja menjangkit ketika kita tidak sadar. Pepatah Arab mengatakan, sûul hulqi yu'dî (akhlak yang buruk itu pasti menular). Gejala buruk ini, akhir-akhir ini, begitu tampak di sekeliling kita. Saya anya bisa berdoa, umat kita yang heterogen bisa mengelola perbedaan dengan sangat cantik. Di akhir diskusi, saya erkesiap manakala seorang pakar Asy'ariyyah mencibir doktrin rasionalistik Mu'tazilah. Moderator pun tak mau kalah. ebelum menutup diskusi, ia mengisahkan petualangan ilmiah Ghazali dari kubu akal menuju kubu naqal. Dari bukunya ang tebal, rumit dan rasional seperti al-Mustasfa menjadi prolifik buku-buku sederhana, praktis seperti Bidâyatul hidâyah, hya Ulûmuddîn, Munqidz min al-dhalâl, dan Tahâfut al-Falâsifah. Dari kecintaan dia pada penalaran filosofis menjadi Nbencian militannya pada filsafat. Dari Ghazali muda yang maju menjadi Ghazali tua yang makin layu. Duh.. inilah awab mengapa institut ilmiah itu mematrikan nama Al-Ghazali. Saya sadar, betapa muslim di Perancis saja masih ewarisi spirit Ghazali tua yang menyampahkan akal pada tong sampah peradaban.. Tapi itulah pendapat, kita tetap arus layak menghargai...meski dengan rasa perih
d. Qadimnya Al-Qur'an Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur'an bagi Al-asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat: Artinya:
“ Jika kami menghendaki sesuatu, kami bersabda, “ terjadilah“ maka ia pun terjadi”.
e. Melihat Allah Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan mutazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akherat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.
f. Keadilan Pada dasarnya Al-asy’ari dan mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Al-asy’ari tidak sependapat dengan mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlaq.

g. Kedudukan orang berdosa Menurut Al-asy’ari mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.
B. AL-MATURIDI
1. Latar Belakan Kemunculan Al-Maturidi
Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. gurunya dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’I, Al-jald, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi, yaitu Risalah fi Al-aqaid dan syarh Fiqh Al-akbar.
2. Doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi
a. Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu;
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.
b. Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. “Telah nyata kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali .” . Di tengah hiruk pikuknya pembangunan dunia sekarang ini kita dihadapkan pada kenyataan bahwa pembangunan secara langsung maupun tidak mengharuskan timbulnya kehancuran di sisi lain. Tuntutan yg besar dari pembangunan terhadap ketersediaan bahan baku dan sumber daya alam telah mendorong banyak anak manusia utk melakukan pengrusakan di belahan lain dari bumi ini demi mengambil keuntungan sesaat dari pembangunan itu. Lihatlah bagaimana hutan-hutan ditebangi pohon-pohonnya utk sekedar mendapatkan kayu yg indah dan kuat utk memenuhi selera pembangunan tanpa menghiraukan akibat yg akan menimpa lingkungan. Bahkan sudah banyak yg merasakan akibatnya mulai dari tanah longsor banjir dan sebagainya. Juga ada pembakaran hutan sebagai cara murah utk membuka lahan tanpa mempedulikan kehidupan orang lain yg terganggu oleh asap yg tebal baik kesehatan masyarakat kegiatan perekonomian dan kepentigan umum lainnya. Pembangunan itu penting namun melindungi diri dari ketamakan pembangunan itu lbh penting. Pembangunan harus dilanjutkan dgn tetap menjaga alam dan lingkungan dari pengrusakan. Logikanya adl bahwa membangun sambil merusak sama dgn nol. Banyak lagi kehancuran yg ditimbulkan oleh ulah manusia yg rakus dan bodoh. Banjir yg melanda kita beberapa saat yg lalu juga merupakan akibat perbuatan kita yg suka menjadikan got-got dan saluran pembuangan air sebagai tempat sampah. Juga akibat perbuatan kita yg tak peduli dgn kelestarian sungai sebagai saluran utama bagi air hujan. Kehancuran-kehancuran yg ditimbulkan kerusuhan dan demo-demo juga tidak sedikit. Sementara di lautan ketamakan manusia juga menimbulkan kerusakan yg tak sedikit mulai dari penghancuran terumbu karang penggalian pasir laut tumpahan minyak perburuan dan penangkapan ikan-ikan yg tak mengenal batas telah menimbulkan kesengsaraan pada sebagian ummat manusia serta kerusakan alam. Udara juga tak ketinggalan terkena kerusakan bolongnya ozon sedikit demi sedikit telah menimbulkan berbagai efek yg tak pernah ada sebelumnya yg ditimbulkan oleh radiasi sinar matahari yg tak lagi disaring oleh ozon. Lalu timbullah ketakutan pada sebagian bangsa akan habisnya riwayat bumi ini lalu mereka mulai memikirkan dan membuat stasiun-stasiun angkasa sebagai tempat mengungsi manusia jika terjadi hal-hal yg tak diinginkan. Kerusakan dan kehancuran dalam kehidupan manusia dgn segala aspeknya juga lbh dahsyat. Pembunuhan massal mau pun tidak dekadensi moral ketamakan iri dan dengki telah mengantarkan manusia menuju derajat yg lbh rendah dari binatang ternak sekalipun.Lembaran ini tak akan cukup utk mengungkapkan semua kehancuran yg diakibatkan oleh perbuatan manusia di muka bumi ini baik laut mau pun darat. Untuk menanggulangi hal ini kita selalu meminta kesadaran dari semua orang yg terlibat secara langsung maupun tidak langsung sayangnya kita tak pernah menyadari bahwa ketamakan dan kerakusan kita merupakan biang semua itu dan lagi pula kita tidak tahu bagaimana membentuk generasi yg sadar. Setiap hari generasi kita hanya dicekoki dgn segala keindahan dan kesenangan dunia sehingga membuat mereka lalai akan kewajiban mereka. Mereka hanya sibuk berpesta dgn segala kesenangan semunya. Seharusnyalah kita menyisihkan waktu utk merenungi segala perbuatan kita tiap harinya. Dengan begitu kita dapat melakukan evaluasi dini pada segala perbuatan yg akan merugikan dan merusak. Semoga Allah menunjuki kita jalan yg lbh baik.
deologi apapun akan tampak kering jika pada tataran praksisnya sulit bersentuhan dengan realitas kemanusiaan yang mengitarinya. Selayaknya saat ini perdebatan konsep ataupun teologi Aswaja tidak lagi harus berkutat pada tataran teroritis-normatif, akan tetapi sudah harus melampaui batas-batas teologi itu sendiri sehingga Aswaja tidak lagi disikapi sebatas sebuah landasan berpijak atau metode berfikir an sich. Seiring dengan proses tentu metode ini akan terus melakukan evolusinya ke arah yang lebih akseptabel, begitu pula dengan pemahaman umat dalam melakukan penyelarasan faktualnya.
Katakanlah saat ini Aswaja baik sebatas metode berfikir ataupun kerangka bermazhab yang ideal telah mulai terbangun –khususnya di kalangan Nahdhiyin-, langkah selanjutnya adalah bagaimana kesadaran yang telah terbangun itu menggugah para pengikut Aswaja ini untuk merealisasikan nilai-nilai yang ada dalam beberapa mazhab yang mu’tabar di atas ke dalam ruang aplikasi hidup yang lebih nyata. Bahwa benarkah nilai-nilai Aswaja yang berupa sikap moderasi dan toleran atau adil menjadi kesadaran komunal dalam berbuat (amaliy) para pengikut Aswaja tersebut. Seberapa besar pola pikir (mind-sett) mazdahib baik fikih, akidah, dan tasawuf memberikan inspirasi bagi sebuah pergulatan pemikiran yang selalu berproses dan bukan sebatas produk pemikiran yang telah siap jadi (stagnan). Baru setelah itu, mampukah para pengikut Aswaja itu melakukan pemekaran atas substansi Aswaja dari yang telah ada kepada hal yang baru dengan bersandarkan kepada kebutuhan manusia yang semakin kompleks.
Mengingat tantangan kemanusiaan yang teramat mendesak, yang menjadi agenda prioritas (pergerakan) Aswaja di masa depan adalah, pencarian kembali makna dan tujuan hidup (sense of meaning and purpose), sehingga Aswaja dapat difungsikan kembali sebagai guidance menuju realitas kesejarahan manusia yang hakiki.
Dari peta sosiologi modernisasi jelas, bahwa akar pesoalan manusia modern adalah penemuan kembali sistem makna yang dapat membebaskan dirinya dari segala macam bentuk determinisme yang terdapat dalam pranata-pranata modern. Di sinilah pentingnya menghadirkan kembali teologi dalam makna historisnya sebagai sarana pembebasan.
Teologi yang membebaskan adalah yang berpusat pada manusia dan kekuatannya, atau humanistic Theology. Manusia harus dapat mengembangkan kemampuan akalnya agar dapat memahami dirinya, hubungannya dengan sesamanya dan kedudukannya di alam ini. Dia harus mengenal kebenaran, dengan melihat pada keterbatasan maupun potensinya. Dia juga harus mengembangkan rasa cinta pada orang lain maupun pada dirinya serta merasakan solidaritas pada semua kehidupan. Dia juga harus mempunyai prinsip dan norma untuk mengarahkan tujuannya sendiri.
Upaya menghadirkan teologi yang humanistik, dan sebaliknya menghindari dari teologi yang otoritarian, sesungguhnya lebih mencerminkan sebagai persoalan epistemologi. Artinya, lebih banyak disebabkan oleh faktor interpretasi dari masing-masing penganut teologi. Letak permasalahannya kemudian adalah “bukan pada teologi apa, tetapi berteologi yang bagaimana.”
Dalam persfektif Islam misalnya, makna pembebasan teologi terletak pada ajaran tauhid. Implikasi pembebasan atau efek pembebasan tidak hanya dalam konteks tauhidullah dalam pengertian pembebabasan dari semua ikatan ketuhanan yang absurd dan otoritarianistik. Tapi, pembebasan dari semua struktur sosial, ekonomi, politik, budaya yang cenderung menjadi determinan bagi kemerdekaan manusia.
Dalam diskursus teologi Islam ini, efek pembebasan tauhid mengalami reduksianisasi seperti dalam teologi Jabariah, Murjiah, serta teologi sejenis yang sudah berkolaborasi dengan kemapanan struktur politik. Artinya, Tuhan digambarkan sebagai sosok yang serba mengatur hidup manusia.
Agaknya persoalan di atas merupakan agenda intelektual bagi kalangan Aswaja ke depan. Ini dapat dilakukan dengan mula-mula menghadirkan rancang bangun teologi Aswaja sebagai rekonstruksi terhadap pemikiran lama yang dianggap kurang memberikan sistem makna yang jelas, tidak membebaskan dan terjebak pada status quo. Karena itu perlu dikembangkan suatu pemikiran yang terbuka dan siap berhadapan dengan persoalan baru dan penafsiran baru pula. Aswaja tidak boleh berhenti sebatas metode berpikir (manhaj al-fikr) lagi, tetapi sudah harus menginspirasikan sebuah kebangkitan melalui metode berkarya (manhaj al-‘amal). Dengan metode berkarya inilah Aswaja akan dirasakan manfaatnya, karena keberadaannya tidak lagi mengawang di langit, namun telah bersenyawa dengan kebutuhan manusia dan hidup di tengah realitas yang dinamik.
c. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri.
d. Sifat Tuhan
Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
e. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23. namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.
e. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist).
f. Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri.
g. Pengutusan Rasul
Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
i. Pelaku dosa besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat.

BAB III
PENUTUP
A. AL-ASY’ARI
Latar Belakang Kemunculan Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-asy’ari. Ia lahir di Bashrah pada tahun 260H/875M. Ketika berusia 40 tahun, ia hijrah ke kota Bagdad dan wafat di sana pada tahun 324H/935M.
Doktrin-doktrin Teologi Al-asy’ari
Corak pemikiran yang sintesis ini menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w 854 M).
h. selain kufur.
B. AL-MATURIDI
Latar Belakan Kemunculan Al-Maturidi
Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.

. Doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi
Akal dan wahyu Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.

Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.













DAFTAR PUSTAKA
- Rozak, Abdul & Anwar, Rohison, Ilmu Kalam. CV Pustaka Setia, Bandung, 2003
- Nasution, Harun, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, 1987
- Nata, Abudin, Meteologi Study Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
- Hanafi, Teologi Islam, Bulan Bintang Jakarta, 1982
- http://www.anakciremai.com/2008/07/makalah-ilmu-kalam-tentang-ahlussunah.html
- http://www.blogcatalog.com/blog/arsip-makalah-kita/bc748e737949ba8c2847a7b8a34d5497
- http://www.motivasi-islami.com/inspirasi/renungan/kekuatan-itu-dari-allah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar