Senin, 14 Juni 2010

asyiariah


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Asy’ariyah merupakan Aliran Teologi Islam yang didirikan oleh salah satu ulam terkemuka, Abul Hasan Isma’il Al-Asy’ariyah diman beliau dikenal sebagai pencetus sebagai Ahlusunnah Wal jama’ah. Al-Asy’ariyah dikenal sebagai Aliran besar yang berhasil menarik perhatian banyak pengikut pada periode 1063-1092 M yang didukung oleh Perdana Menteri Nisham Al- Mulk di Irak dan di Iran.[1] Aliran ini merupakan cerminan jalan tengah antara Aliran Rasionalis dan tekstualis, berpegang pada Al- Qur’an dan hadits dan diperkuat oleh dalil-dalil Aqli dalam mengemukakan Argument.

B. Fokos Masalah

Membahas tentang Aliran Al-asy’ariah perlu membutuhkan waktu yang tak begitu singkat. Oleh sebab itu, disini penulis secara garis besar akan menerangkan Aliran Teologi Islam ini, antara lain:

1. Pengertian Al-Asy’ariah

2. Riwayat hidup Abul Hasan Ism’il Al-Asy,ari

3. Tentang Aliran Al-Asy’ariah

4. Pokok Pemikiran Al-Asy’ariah

5. Sebab-sebab menempuh jalur Rasional

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Asy’ariah

Kata Al-Asy’arih dalam bahasa Arab merupakan bentuk Nisbih dari perkataan Asy’ari yang mana Asy’ari adalah nama sebuah Kabilah Arab yang terkemuka di Bashrah (Irak)1. Dari sana lahir beberapa tokoh diantaranya adalah Abu Musa Al-asy’ari dan Abu Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin isma’il bin Abdullah bin Musa bin Abi Bardah Al-asy’ari (selanjutnya disebut Al-Asy’ari ). Tokoh yang terakhir ini terkenal sebagai ulama terkemuka yang banyak mempengaruhi Aqidah kaum muslimin. Istilah Al-Asy’ariah yang terkenal sekarang menjadi bukti atas keberhasilannya menarik banyak pengikut.

B. Riwayat Hidup Abul Hasan Al-Asy’ari

Berawal dari reaksi Al-asy’ari terhadap Teologi Mu’tazilah yang menurutnya dipandang telah melenceng dari ketentuan-ketentuan Syari’at[2]. Akhirnya Al-asy’ariah menjelma menjadi sebuah Aliran Teologi. Aliran ini mencoba mengambil posisi diantara dua paham Teologi yang sama-sama Ekstrim yakni aliran Mu’tazilah dan Jabariyah.

Aliran ini dinisbahkan pada pendirinya yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari ia masih keturunan dari sahabat besan Abu Musa Al-Asy’ari, seorang hakim dalam perang siffin dari pihak sayyidina Ali bin Abi Thalib. Dia dilahirkan di kota bashrah tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 330 H (943 M).[3]

Semula berguru pada Mu’tazilah yang waktu itu bernama Abu Ali Al-jubbai, memang sejak awal Al_Asy’ari ini adalah pengikut paham Mu’tazilah. Karena ada yang tidak cocok dengan Mu’tazilah, akhirnya ia condong pada pemikiran para fuqaha dan Ahli Hadits.

Menurut Abu Sakir, Ayah Al-asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlusunah dan Ahli Hadits[4], wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil Sebelum wafat ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Qakaria bin yahya As-Safi agar mendidik Al-Asy’ari, Ibu Al-Asy’ari sepeninggal ayahnya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah bernama Abu Ali-Jubbai ( W, 321 H/932M ) [5] berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Ay’ari kemudian menajdi Tokoh Mu’tazilah, ia sering menggantikan Al-Jubbai dalam perdebatan dengan lawan-lawan mu’tazilah selama 40 tahun, sehingga dia di kenal sebagai juru bicara Mu’tazilah.

Imam muhammada Abu Zahrah (1996) menerangkan pendapt Al-Asy’ari bahwa dalam rangka menjawab pemikiran kaum mu’tazilah, maka Al-Asy’ari untuk sementara berdiam diri di rumahnya dan mencoba membandingkan dalil-dalil kedua kelompok di atas. Setelah ia kelauar menemui masyarakat dan mengundang mereka untuk berkumpul. Selanjutnya ia naik mimbar pada hari jum’at di atas jami bashrah dan berkata, saya pernah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mahluk, bahwa Allah tida terlihat loeh indra penglihatan kelak pada hari kiamat, dan bahwa perbauatan-perbauatan saya yang tidak baik, maka saya sendirilah yang melakukanya, kini saya bertaubat dari pendapat seperti itu serta siap untuk menolak pendapat seperti itu serta siap untuk menolak mu’tazilah dan mengungkapkan kelemahannya. Selama ini saya telah hilang dari pendapat saya karena saya berfikir, menurut pendapat saya, dalil-dalil kedua kelompok itu seimbang, tidak satupun dalil yang lebih unggul atas dalil-dalil yang lain.[6]

Al-Asy’ari menyatakan bahawa sebenarnya kebenarannya kebanyakan mu’tazilah dan Qadariyah bertaqlid kepada para pemimpin dan pendahulu mereka, mereka menta’wilkan Al-Qur’an berdasarkan kepada pendapat pendaulunya, padahal Allah sama sekali tidak memberikan Otoritas kepada mereka untuk melakukan dan tidak menjelaskan dalilnya, mereka tidak mengutik hadits Rasululah dan pernyataan ulama salaf. Mereka menentang riwayat Nabi mengenai melihat Allah dengan indara penglihatan di hari kiamat kelak, siksa kubur, padahal ada sejumlah hadits dan sanad yang sahih mengenai masalah itu, inilah hati yang kontriversial di saat Al-Asy’ari mengumandangkan pendapatnya di atas mimbar setelah merenung selama 15 hari.[7] Pertanyaannya adalah mengapa Al-Asy’ari yang telah lama bermazhab Mu’tazilah dan berpaling darinya? Sebab yang bias di kemukakan dengan mimpi. Pada suatu malam Al-Asy’ari bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW, yang mengatakan bahwa mazhab ahli haditslah yang benar dan Mazhab Mu’tazilah adalah salah. [8]

C. Tentang Aliran Al-Asy’ari

Aliran Al-Asy’ariyah di Nisbahkan kepada Abu Hasan Al-Asy’ariyah yang pada mulanya berguru pada seorang tokoh mu’tazilah terkemuka (Abu Ali Muhammad bin Ali Jubbai). Al-Asy’ari keluar dari mu’tazilah dan menyusun teologi yang kontradkitif dengan Mu’tazilah.

Penyebab Al-Asy’ari meninggalkan mu’tazilah setelah bebrapa tahun di kategorikan atas dua faktor yaitu:

1. Faktor Internal.

  1. Menurut Al-Subik dan Ibn Asakir bahwa suatu malam Al-Asy’ari bermimpi, dalam mimpinya Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa Mazhab Ahli Haditslah yang benar dan Mazhab Mu’tazilah salah.
  2. Terjadi perdebatan dengan gurunya Al Jubbai dan dalam perdebatan itu Guru tidak mampu menjawab pertanyaan Murid.
  3. Al-Asy’ari mengasingkan diri dari rumah selama 15 hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, sesudah keluar dari rumah, pergi kemasjid lalu naik mimbar dan selanjutnya mengatakan akan keyakinannya yang baru.

2. Faktor Eksternal

  1. Kaum muslimin pada waktu itu sudah bosan dan jemu menghadapi dan mendengar pedebatan serta peretentangan seputar persoalan Al-Qur’an yang di gulirkan oleh Mu’tazilah sehingga mereka tidak intens lagi terhadap Aliran tersebut
  2. Aliran mu’ Tazilah tidak alagi menjadi Aliran/Mazhab/ Paham resmi Negara sejak di batalkanya oleh khalifah Al-Mutawqakilin tahun 234 H.
  3. Imam asy’ari mempunyai banyak pengikut yang berpengaruh di kalangan masyarakat dan selalu menyebarkan ajaran-ajarannya, sehingga mereka lebih tertarik pada aliran Al-Asy’ariah [9]

D. Pokok-Pokok Pemikiran Al-Asy’ariah

Seorang Abu Zahrah mengatakan Al-Asy’ari mendapatkan sesuatu yang bertentangn dengan Mu’tazilah dalam pemikiran, meskipun ia banyak menyerap ilmu dari buah pikirannya, ia akhirnya lebih condong kepada pemikiran Ahli Fiqhi dan Ahli Hadits meskipun belum pernah mengkaji Aqidah melalui metode mereka[10]

adapun pokok-pokok pemikiran Al-Asy’ari

a. Al-Qur’an adalah Mahluk

b. Tuhan tidak memiliki sifat-sifat.

c. Orang yang berdosa besar termasuk Kafir dan orang kafir masuk neraka

d. Tuhan tiaka dapat di lihat

Al-Asy’ari sebagai seorang yang pernah menganut paham mu’tazilah tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumrntasi pikiran. Ia setuju dengan pengguanaan akal pikiran dalam persoalan agama atau membahas permasalahan yang tidak pernah di singgung oleh Rasululah SAW.namun Ia mengingkari orang-orang yang berlebihan dalam menghargai akal seperti Aliran Mu’tazilah. [11]sebenarnya Ahlusunah apada mulanya tidak mengakui dan menerima Asy’ari untuk memadukan Mazhab Ahlusunah dengan Mazhab Rasionalis, baik karena alasan prasangka bahwa sia-sia paham Mu’tazilah belum Sirna dalam jiwa Al-Asy’ari [12]

E. Sebab-Sebab Menempuh Jalur Rasional

Dalam Argumentasinya yang berhubungan dengan masalah Aqidah, Al-Asy’ari mempergunakan Dalil Aqli dan Nakli, Ia menetapkan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits yang bertalian dengan sifat-sifat Allah, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, Malaikat, perhitungan Amal serta Siksa dan Pahala. Ia menggunakan Dalil-Dalil Rasional dan Logika dalam membuktikan kebenaran apa yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits dan menjadikan akan sebagai pembantu untuk memahmi dan mendukung zahir suatu nash.

Untuk Al-Asy’ari meminjam Premis filosofis yang meliuti para filosof dan di temupuh oleh para pakar logika, sehingga ia menjasi sebab mengapa ia menempuh jalur Rasional yaitu:

1. Al-Asy’ari belajar dari Ulama mu’tazilah dan mengenyam banyak pemikiran mereka, Ia telah meliki metode mereka dalam berargumentasi mengenal Aqidah Al-Qur’an, tetapi tidak mengambil Metode mereka dalam memahami Nash Al-Qur’an dan Hadits.

2. Al-Asy’ari mempersiapkan diri untuk menolak dan menyerang Mu’tazilah

3. Al-Asy’ari mempersiapakan diri untuk menolak Para Filosofis, yaitu Qaramithah, Bathiniyah, dan lainya, kebanyakan mereka tidak bias di bungkan kecuali dengan Analogi yang Logis, bahkan di antara mereka terdapat para Filosofis yang tidak dapat di kalahakan kecuali dengan Dalil-Dalil Akal saja[13]

Mazhab atau Aliran Al-Asy’ariah mempunyai banyak pengikut, di Irak dan di wilayah-wilayah Islam bagian Barat. Banyak Tokoh terkemuka yang menguatkan pendapat Al-Asy’ari, bahkan sebagaian mereka berpegang pada pendapat secara fanatik, bahkan hanya kesimpulan yang di capainya, tatapi juga premisp-resmis yang di gunakan untuk sampai pada kesimpulan. Tokoh yang memandang Al-Asy’ari seperti Abu Bakar Al- Baqillani ( 430 H ) dan Al-Ghazali ( 505 H ) sekalipun pada berbagai masalah terdapat perbedaan-perbedaan pendapat. [14]

a. Akal dan wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.

Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.

Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.

Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu;
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.

Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.

    1. Perbuatan manusia

Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. “Telah nyata kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali .” . Di tengah hiruk pikuknya pembangunan dunia sekarang ini kita dihadapkan pada kenyataan bahwa pembangunan secara langsung maupun tidak mengharuskan timbulnya kehancuran di sisi lain. Tuntutan yg besar dari pembangunan terhadap ketersediaan bahan baku dan sumber daya alam telah mendorong banyak anak manusia utk melakukan pengrusakan di belahan lain dari bumi ini demi mengambil keuntungan sesaat dari pembangunan itu.

Lihatlah bagaimana hutan-hutan ditebangi pohon-pohonnya utk sekedar mendapatkan kayu yg indah dan kuat utk memenuhi selera pembangunan tanpa menghiraukan akibat yg akan menimpa lingkungan. Bahkan sudah banyak yg merasakan akibatnya mulai dari tanah longsor banjir dan sebagainya. Juga ada pembakaran hutan sebagai cara murah utk membuka lahan tanpa mempedulikan kehidupan orang lain yg terganggu oleh asap yg tebal baik kesehatan masyarakat kegiatan perekonomian dan kepentigan umum lainnya. Pembangunan itu penting namun melindungi diri dari ketamakan pembangunan itu lbh penting. Pembangunan harus dilanjutkan dgn tetap menjaga alam dan lingkungan dari pengrusakan.

Logikanya adl bahwa membangun sambil merusak sama dgn nol. Banyak lagi kehancuran yg ditimbulkan oleh ulah manusia yg rakus dan bodoh. Banjir yg melanda kita beberapa saat yg lalu juga merupakan akibat perbuatan kita yg suka menjadikan got-got dan saluran pembuangan air sebagai tempat sampah. Juga akibat perbuatan kita yg tak peduli dgn kelestarian sungai sebagai saluran utama bagi air hujan.

Kehancuran-kehancuran yg ditimbulkan kerusuhan dan demo-demo juga tidak sedikit. Sementara di lautan ketamakan manusia juga menimbulkan kerusakan yg tak sedikit mulai dari penghancuran terumbu karang penggalian pasir laut tumpahan minyak perburuan dan penangkapan ikan-ikan yg tak mengenal batas telah menimbulkan kesengsaraan pada sebagian ummat manusia serta kerusakan alam. Udara juga tak ketinggalan terkena kerusakan bolongnya ozon sedikit demi sedikit telah menimbulkan berbagai efek yg tak pernah ada sebelumnya yg ditimbulkan oleh radiasi sinar matahari yg tak lagi disaring oleh ozon. Lalu timbullah ketakutan pada sebagian bangsa akan habisnya riwayat bumi ini lalu mereka mulai memikirkan dan membuat stasiun-stasiun angkasa sebagai tempat mengungsi manusia jika terjadi hal-hal yg tak diinginkan.

Kerusakan dan kehancuran dalam kehidupan manusia dgn segala aspeknya juga lbh dahsyat. Pembunuhan massal mau pun tidak dekadensi moral ketamakan iri dan dengki telah mengantarkan manusia menuju derajat yg lbh rendah dari binatang ternak sekalipun.Lembaran ini tak akan cukup utk mengungkapkan semua kehancuran yg diakibatkan oleh perbuatan manusia di muka bumi ini baik laut mau pun darat. Untuk menanggulangi hal ini kita selalu meminta kesadaran dari semua orang yg terlibat secara langsung maupun tidak langsung sayangnya kita tak pernah menyadari bahwa ketamakan dan kerakusan kita merupakan biang semua itu dan lagi pula kita tidak tahu bagaimana membentuk generasi yg sadar. Setiap hari generasi kita hanya dicekoki dgn segala keindahan dan kesenangan dunia sehingga membuat mereka lalai akan kewajiban mereka.

Mereka hanya sibuk berpesta dgn segala kesenangan semunya. Seharusnyalah kita menyisihkan waktu utk merenungi segala perbuatan kita tiap harinya. Dengan begitu kita dapat melakukan evaluasi dini pada segala perbuatan yg akan merugikan dan merusak. Semoga Allah menunjuki kita jalan yg lbh baik.

deologi apapun akan tampak kering jika pada tataran praksisnya sulit bersentuhan dengan realitas kemanusiaan yang mengitarinya. Selayaknya saat ini perdebatan konsep ataupun teologi Aswaja tidak lagi harus berkutat pada tataran teroritis-normatif, akan tetapi sudah harus melampaui batas-batas teologi itu sendiri sehingga Aswaja tidak lagi disikapi sebatas sebuah landasan berpijak atau metode berfikir an sich. Seiring dengan proses tentu metode ini akan terus melakukan evolusinya ke arah yang lebih akseptabel, begitu pula dengan pemahaman umat dalam melakukan penyelarasan faktualnya.

Katakanlah saat ini Aswaja baik sebatas metode berfikir ataupun kerangka bermazhab yang ideal telah mulai terbangun –khususnya di kalangan Nahdhiyin-, langkah selanjutnya adalah bagaimana kesadaran yang telah terbangun itu menggugah para pengikut Aswaja ini untuk merealisasikan nilai-nilai yang ada dalam beberapa mazhab yang mu’tabar di atas ke dalam ruang aplikasi hidup yang lebih nyata. Bahwa benarkah nilai-nilai Aswaja yang berupa sikap moderasi dan toleran atau adil menjadi kesadaran komunal dalam berbuat (amaliy) para pengikut Aswaja tersebut.

Seberapa besar pola pikir (mind-sett) mazdahib baik fikih, akidah, dan tasawuf memberikan inspirasi bagi sebuah pergulatan pemikiran yang selalu berproses dan bukan sebatas produk pemikiran yang telah siap jadi (stagnan). Baru setelah itu, mampukah para pengikut Aswaja itu melakukan pemekaran atas substansi Aswaja dari yang telah ada kepada hal yang baru dengan bersandarkan kepada kebutuhan manusia yang semakin kompleks.

Tapi tidak untuk jaman sekarang. Seiring pekembangan informasi yang begitu pesat, segala yang dulu ditutup-tutupi kini dengan mudah diakses oleh mereka yang menempuh jalan untuk mengaksesnya. Sehingga upaya untuk menutup-nutupi referensi syiah menjadi tidak berguna. Namun meskipun demikian, tidak banyak orang yang menerangkan isi ajaran syiah yang asli.

Sehingga, ada sekelompok orang yang bertekad dengan segala kemampuan yang ada memohon pertolongan pada Allah agar memudahkan mereka dalam menyampaikan ajaran syiah yang selama ini ditutup-tutupi kepada khalayak ramai agar bisa berhati-hati dan tidak terpedaya. Mereka membuat sebuah situs yang di dalamnya berisi sanggahan dan bantahan terhadap ajaran syiah. Semuanya dikupas dengan hujjah yang jelas.

Selain menjelaskan ajaran syiah yang sebenarnya, situs tersebut juga menjelaskan kontradiksi yang ada dalam ajaran syiah, dengan sumber-sumber yang asli, yang memang tidak banyak diketahui orang banyak, bahkan oleh penganut syiah yang baru mencapai tingkat beginner dan intermediate. Sehingga banyak penganut syiah yang hanya bisa marah-marah ketika membaca makalah-makalah dalam situs tersebut. Sudah semestinya mereka menggunakan akal sehat yang diberikan oleh Allah pada mereka, dan menelaah kembali kitab suci yang membawa kepada jalan yang lurus, yaitu Al Qur’an.

Dasar-dasar akidah islam telah dijelaskan nabi Muhammad saw melalui pewahyuan Al-qur’an dan kumpulan sabdanya untuk umat manusia generasi muslim awal binaan Rasullullah saw telah meyakini dan menghayati akidah ini meski belum diformulasikan sebagai suatu ilmu lantaran lantaran rumusan tersebut belum diperlukan.

Pada periode selanjutnya, persoalan akidah secara ilmiah dirumuskan oleh sarjana muslim yang dikenal dengan dengan nama mutakallimun, hasil rumusan mutakallimun itu disebut kalam, secara harfiah disebut sabda Tuhan ilmu kalam berarti pembahasan tentang kalam tuhan (Al-qur’an) jika kalam diartikan dengan kata manusia itu lantaran manusia sering bersilat lidah dan berdebat dengan kata-kata untuk mempertahankan pendapat masing-masing.

Kata kalam berkaitan dengan kata logos dalam bahasa Yunani yang berarti alasan atau argumen Ahmad Mahmud Shubhimengutip defenisi ilmu kalam versi Ibnu Khaldun bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membahas tetang persoalan-persoalan dasar keimanan dengan menggunakan dalil akal dan menolak unsur-unsur bid’ah

Dari defenisi dapat dipahami bahwa pembahasan ilmu kalam adalah untuk mempertahankan akidah. Dasar-dasar akidah yang termaktub di dalam al-qur’an dianalisa dan dibahas lebih lanjut dengan menggunakan logika untuk mendapatkan keyakinan yang lebih kokoh.

Dasar-dasar akidah islam telah dijelaskan nabi Muhammad saw melalui pewahyuan Al-qur’an dan kumpulan sabdanya untuk umat manusia generasi muslim awal binaan Rasullullah saw telah meyakini dan menghayati akidah ini meski belum diformulasikan sebagai suatu ilmu lantaran lantaran rumusan tersebut belum diperlukan.

Pada periode selanjutnya, persoalan akidah secara ilmiah dirumuskan oleh sarjana muslim yang dikenal dengan dengan nama mutakallimun, hasil rumusan mutakallimun itu disebut kalam, secara harfiah disebut sabda Tuhan ilmu kalam berarti pembahasan tentang kalam tuhan (Al-qur’an) jika kalam diartikan dengan kata manusia itu lantaran manusia sering bersilat lidah dan berdebat dengan kata-kata untuk mempertahankan pendapat masing-masing.

Kata kalam berkaitan dengan kata logos dalam bahasa Yunani yang berarti alasan atau argumen Ahmad Mahmud Shubhimengutip defenisi ilmu kalam versi Ibnu Khaldun bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membahas tetang persoalan-persoalan dasar keimanan dengan menggunakan dalil akal dan menolak unsur-unsur bid’ah

Dari defenisi dapat dipahami bahwa pembahasan ilmu kalam adalah untuk mempertahankan akidah. Dasar-dasar akidah yang termaktub di dalam al-qur’an dianalisa dan dibahas lebih lanjut dengan menggunakan logika untuk mendapatkan keyakinan yang lebih kokoh.

pengikut al-Asy’ari, menyatakan bahwa kekuasaan Tuhan adalah mutlak dan tidak ada yang menandingi-Nya. Tidak ada suatu benda pun yang memiliki kekuatan dan efek terhadap lainnya, seperti makan tidak menyebabkan kenyang. Jika dikatakan bahwa makan dapat menyebabkan kenyang, karena Tuhan memberikan kekuatan atau sifat mengenyangkan, berarti Tuhan membutuhkan selain-Nya sebagai perantara terwujudnya kenyang itu. Orang yang menyatakan demikian dianggap fasiq dan bid‘ah, termasuk kelompok Mu’tazilah. Jika dikatakan bahwa, benda atau sesuatu itu menyebabkan timbulnya kekuatan tertentu, maka yang menyatakan demikian disebutnya kafir secara ijma’. Menurutnya, yang paling selamat adalah menyatakan : “Bahwa kekuatan tertentu benda-benda itu hanyalah merupakan sebab yang telah biasa terjadi”.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN.

1. Al-Asy’ariah meruapakan bentuk Nisbi dari perkataan Asy’ari yang nama Al-Asy’ari adalah nama sebauah Kabilah Arab terkemuka di Basrah ( Irak )

2. Abu Hsan Al-Asy’ari dimana dia di kenal dengan sebutan Al-Asy’ari ini meruapakan tokoh ulama terkemuka yang mempengaruhi Aqidah kaum Muslimin, beliau pendiri Ahlusunnah Wal Jama’ah

3. Al-Asy’ari mempergunakan Dalil-Dalil Aqli dan Naqli menetakan apa yang tedpat dalam Al-Qur’an dan Hadits.

4 Al-Asy’ari Awalnya berpaham Mu’tazilah, tatapi belau bias meninggalkan kemu’tazilahanya sehingga pada keputusanya bahwa Mutazilah salah.

B. SARAN

Penulis hanyalah manusia biasa tak terlepas dari kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran dari teman-teman dan dosen pembimbing untuk kesempurnaan makalah ini

KATA PENGANTAR

Rasa puji syukur hanyalah milik Allah yang telah melimpahruahkan segala Rahmat dan Hidayah-Nya kepada seorang hambanya yang lemah. Dengan Rahmat dan Nikmat-Nya kelemahan yang ada tidak menjadi sebuah hambatan untuk menyelesaikan berbagai aktivitas yang berorientasi positif dalam hidup dan kehidupan. Sebagai contoh penulis masih dapat mennyalesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Al-Asy-ariyah” meskipun dihadapkan dengan berbagai tantangan dan hambatan.

Salawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW. yang telah berhasil mengubah tatanan kehidupan dari Alam Jahiliyah (Biadap) menuju kealam berparadaban. Namun penulis menyadari bahwa dalam penysunan makalah ini masih terdapat berbagai kekurangan yang jauh dari kesempurnaan berhubung dengan minimnya pengetahuan dasar dan referensi yang dijadikan rujukan. Olehnya itu ucapan maaf senantiasa tak terlupakan dan atas segala sumbangsi dari segala aspek diucapkan banyak terima kasih.

Kendari, 15 januari 2010

Penulis

DAFTAR PUSTAKA

-. Sahilun, A Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Cet III , Raja Grafindo Persada. Jakarta:1996

-. Musthan, Zulkifli, Pendidikan Agama Islam , Cet I, Hasanuddin Universitas, Press, Makasar: 2002

-. Tekeng, Abbas, Ilmu Kalam , Cet I STAIN Kendari, Kendari : 2007

-. Musthan, Zulkifli,DKK,. Ilmu kalam, Cet I STAIN Kendari, Kendari : 2007

-. Anwar, Rosihan, Rosak, Abdullah Ilmu Kalam, Cet II Pustaka Setia, bandung: 2003

-. Asy’ari, Abu Hasan, Aliran teologi iIslam, I Cet I Persada Setia, 1998.


[1]. Al-Asy’ari, Aliran teologi Islam, Cet I Persada Setia, 1998. h. 26

1. Zulkifli,M. dkk,. Ilmu kalam, Cet I STAIN Kendari, Kendari : 2007. h. 70

[2]. Ibid., h. 71

[3] Zulkifli, M. Pendidikan Agama Islam , Cet I, Makasar: Hasanuddin Universitas, Press, 2002.h. 381

[4] . Rosihan, Anwar, dkk. Ilmu Kalam, Cet II Bandung : Pustaka Setia, 2003 , h. 120

[5] . Ibid.,h. 120

[6] Zul, Pendidikan Op. Cit .h. 381

[7]. Abbas, Tekeng, Ilmu Kalam , Cet I STAIN Kendari, Kendari : 2007, h. 75

[8]. Ibid. h. 75

[9]. Zulkifli, Ilmu kalam, Op. Cit .h. 72-74

[10] . Salihun, Pengantar Ilmu Kalam, h. 110

[11]. Zul, Ilmu Kalam, Op .Cit. h. 74

[12]. Asy’ari,, Aliran teologi iIslam, I Cet I Persada Setia, 1998.h. 76

[13] Zul, Pendidikan Agama Islam, , Op .Cit. h. 392-393

[14]. Ibid. h.393

Tidak ada komentar:

Posting Komentar