Selasa, 07 Juni 2011

Perkembangan teori belajar akan memberi kontribusi perkembangan teori pembelajaran. Pada saat ini pengaruh teori belajar yang secara jelas mempengaruhi teori pembelajaran adalah teori belajar kognitif, behavioristik, humanistic, dan konstruktivisme. Karena pendidikan nasional kita tidak jelas mengikuti teori belajar tertentu mana yang dianut secara konsisten maka dalam praktek pembelajaran di sekolah-sekolah kadang guru tidak tahu asal usulnya sehingga akan mudah melakukan penyimpangan konsep dasarnya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dianalisis berbagai teori pembelajaran.

  1. Macam dan Analisis Teori Belajar dan Pembelajaran
    1. Teori Behavioristik

Belajar merupakan proses perubahan perilaku. Perilaku yang dimaksud dapat berwujud perilaku yang tampak (overt behavior) atau perilaku yang tidak tampak (inert behavior). Perilaku yang tampak misalnya: menulis, memukul, sedangkan perilaku yang tidak tampak misalnya: berpikir, bernalar, dan berkhayal. Perubahan perilaku yang diperoleh dari hasil belajar bersifat permanen, dalam arti bahwa perubahan perilaku akan bertahan dalam waktu relatif lebih lama, sehingga pada suatu waktu perilaku tersebut dapat dipergunakan untuk merespon stimulus yang sama atau hampir sama. Namun demikian tidak semua perubahan perilaku merupakan perwujudan dari hasil belajar, karena ada perubahan perilaku yang tidak disebabkan oleh hasil belajar misalnya: seorang anak kecil berumur 9 bulan dapat berjalan karena telah mencapai kematangan untuk berjalan, seorang menarik jarinya secara reflektif karena terkena api.


Aspek penting yang dikemukakan oleh aliran behavioristik dalam belajar adalah bahwa hasil belajar (perubahan perilaku) itu tidak disebabkan oleh kemampuan internal manusia (insight), tetapi karena faktor stimulus yang menimbulkan respons. Untuk itu, agar aktivitas belajar siswa di kelas dapat mencapai hasil belajar yang optimal, maka stimulus harus dirancang sedemikian rupa (menarik dan spesifik) sehingga mudah direspons oleh semua siswa. Oleh karena itu siswa akan memeproleh hasil belajar apabila dapat mencari hubungan antara stimulus dan respon.

Dalam desain pembelajaran yang menggunakan prinsip Behaviorisme, biasanya kurikulum dirancang dengan menyusun isi pengetahuan yang ingin dicapai menjadi bagian-bagian kecil, yang ditandai dengan suatu ketrampilan tertentu.Bagian-bagian ini disusun secara hirarkies, dari yang sederhana sampai ke yang kompleks. Alasan mengapa sasaran belajar disusun dalam bagian yang terpisah dan bertingkat adalah untuk memudahkan pengukuran atau pembuktian bahwa proses belajar telah berhasil dilaksanakan yaitu dengan adanya bukti perilaku yang terukur tadi.

    1. Teori Kognitif

Untuk meningkat kemampuan berfikir siswa, dan membantu siswa menjadi pembelajar yang sukses, maka pengajar yang menganut paham Kognitivisme banyak melibatkan siswa dalam kegiatan dimana faktor motivasi, kemampuan problem solving, strategi belajar, memory retention skill sering ditekankan.

Berbeda dengan paham Behaviorisme, paham cognitivisme lebih terfokus pada masalah atau pertanyaan yang berkenaan dengan kognisi, atau pengetahuan. Menurut para pendukung teori ini, belajar adalah suatu proses mental, yang tidak selalu harus bisa diamati, yang bisa juga diberi nama pemrosesan informasi. Perubahan tingkah laku yang terjadi adalah merupakan refleksi dari interaksi persepsi diri seseorang terhadap sesuatu yang diamati dan dipikirkannya. Menurut para pendukung teori kognitif, bagaimana teori behaviorisme bisa menjelaskan proses belajar yang terjadi pada beberapa siswa yang berbeda, dimana setelah mendapat stimulus yang sama mereka menghasilkan respon yang berbeda? Respon yang berbeda tersebut mestilah hasil dari kapasitas kognisi siswa yang berbeda. Mungkin mereka tidak memiliki motivasi yang sama, mungkin mereka menerapkan cara belajar yang berbeda, mungkin mereka memiliki background knowledge yang berbeda, atau mungkin cara pemecahan masalah yang mereka terapkan juga berbeda. Terdapat banyak kemungkinan yang bisa menyebabkan mengapa stimulus yang sama tidak menghasilkan respon yang sama.

Perkembangan kognitif anak akan lebih berarti apabila didasarkan pada pengalaman nyata dari bahasa yang digunakan berkomunikasi ketika berinteraksi dengan subjek belajar lainnya.

    1. Teori Konstruktivisme

Pengetahuan yang kita miliki adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Seseorang yang belajar akan membentuk pengertian, ia tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang diajarkan atau yang ia baca, melainkan menciptakan pengertian baik secara personal maupun social. Pengetahuan tersebut. dibentuk melalui interaksi dengan lingkungannya.

Siswa yang memahami dan mampu menerapkan pengetahuan yang telah dipelajari, mereka harus mampu memecahkan masalah, menemukan(discovery) sesuatu untuk dirinya sendiri, dan bergelut dengan berbagai gagasan.

Intisari dari teori ini adalah bahwa setiap siswa harus menemukan dan mentransformasikan informasi ke dalam dirinya sendiri. Teori ini memandang siswa sebagai individu yang selalu memeriksa informasi baru yang berlawanan dengan prinsip-prinsip yang telah ada dan merevisi prinsip-prinsip tersebut apabila dianggap sudah tidak dapat digunakan lagi. Hal ini memeberikan implikasi bahwa siswa harus terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran.

    1. Teori Humanistik

Hasil belajar dalam pandangan humanistic adalah kemampuan siswa mengambil tanggung jawab dalam menentukan apa yang dipelajari dan menjadi individu yang mampu mengarahkan diri sendiri dan mandiri. Disamping itu pendekatan humanistic memandang pentingnya pendekatan pendidikan di bidang kreatifitas, minat terhadap seni, dan hasrat ingin tahu.

Keleluasaan untuk memilih apa yang akan dipelajari dan kapan dan bagaimana mereka akan mempelajarinya yang merupakan ciri utama pendekatan humanisme bertujuan untuk membantu siswa menjadi self-directed serta self-motivated learner. Dalam teori ini menganggap bahwa siswa akan bersedia melakukan banyak hal apabila mereka memiliki motivasi yang tinggi dan mereka diberi kesempatan untuk menentukan apa yang mereka inginkan. Ciri lain dari pendekatan humanisme adalah mereka menghindari pemberian nilai, tes standard atau evaluasi formal lainnya.

  1. Pergeseran Teori Pembelajaran

Koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari rumpun behaviorisme. Teori belajar koneksionisme dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949), berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an.

Menurut teori belajar ini, belajar pada hewan dan pada manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-prinsip yang sama. Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau dikenal dengan hubungan antara Stimulus dan Respons (S-R).

Dengan kata lain, menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain adalah suatu hubungan antara perangsang-jawaban atau stimulus-respons sebanyak-banyaknya. Ikatan-ikatan atau koneksi-koneksi dapat diperkuat atau diperlemah serasi dengan banyaknya penggunaan dan pengaruh-pengaruh dari stimulus-respons tersebut. Dapat dipahami bahwa siapa yang menguasai hubungan stimulus-respons sebanyak-banyaknya dia-lah orang yang pandai atau berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respons dilakukan melalui ulangan-ulangan..

Teori kognitif dikembangkan oleh para ahli psikologi kognitif. Menurut teori ini, bahwa yang utama pada kehidupan manusia adalah mengetahui (knowing) dan bukan respons.

Suatu konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang “insight”, yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental. Rumpun psikologi Gestalt bersifat molar, yaitu menekankan keseluruhan yang terpadu, alam kehidupan manusia dan perilaku manusia selalu merupakan suatu keseluruhan, suatu keterpaduan.

Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan mandiri, bertanggungjawb, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat serta mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang dapat melihat cirri – cirri manusia tersebut, dengan praktek – praktek pendidikan dan pembelajaran. Pandangan kontruvistik yang mengemukakan belajar adalah upaya pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilsi dan akomodasi yang menuju pada pembetukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah pada tujuan tersebut. Oleh karma itu, pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembetukan tersebut secara optimal dalam diri siswa. Proses belajar sebagi suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proses akomodasi dan asimilasi, akan membetuk suatu kontruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru – guru kontrotifistik yang menghargai dorongan diri manusia atau siswa untuk mengontruksikan pengetahuannya sendiri, kegiatan pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar tejadi aktivistas kotruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.

Menurut Humanistik proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia. Oleh karena itu teori humanistic sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat , teori kepribadian dan psikoterapi. Teori humanistic sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu. Teori ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal. Teori humanistic cenderung bersifat elektrik, maksudnya teori ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.

Efektivitas belajar yang dilakukan oleh siswa di sekolah tidak semata-mata ditentukan oleh derajat pemilikan potensi siswa yang bersangkutan, melainkan juga lingkungan, terutama guru yang profesional. Untuk itu, guru harus benar-benar memahami teori-teori belajar agar tidak menyimpang dari konsep dasarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar